Dreams are Changing (the future's not ours to see)

I am back! Hampir 2 tahun saya nggak nge-post di blog, sebenarnya banyak yang sudah ada di draft, hanya saja kurang ada waktu untuk melanjutkan tulisan-tulisan tersebut. Sekarang mumpung waktunya agak lega, saya coba untuk mulai meramaikan lagi blog ini. 

Sesuai judulnya, Dreams are Changing, bahwa cita-cita atau mimpi rupanya memang tidak bisa diprediksi, apalagi ketika usia masih muda. Waktu masih SD, saya punya cita-cita untuk menjadi dosen, karena saya ingin mengikuti jejak papa saya. I was a kid, kids say what they see. Saya melihat papa saya berangkat setiap hari untuk mengajar. Cita-cita itu bertahan sampai SMP. Saat kelas 7, ada tambahan mimpi baru yaitu ingin menjadi presiden. Kalau tidak salah, waktu itu saya ingin jadi presiden karena konon ingin mengubah negeri ini, padahal waktu itu juga sebenarnya saya tidak tau apa sih sebenarnya yang mau diubah haha. Lucu juga kalau dibayangin sekarang pikiran-pikiran di umur saat itu. Beranjak ke kelas 9, cita-cita menjadi dosen dan presiden perlahan berubah, penyebabnya karena saya sudah membayangkan profesi lain yang menarik perhatian saya. Saat kelas 9, saya bercita-cita untuk menjadi dokter spesialis bedah kandungan. Alasannya sederhana, karena mama saya pernah bilang kalau dokter bedah kandungan perempuan saat itu masih sedikit. 

Setelah itu, beranjak ke jenjang SMA, keinginan menjadi dokter masih ada hingga akhirnya saya terpukul mundur oleh realita bahwa nilai IPA saya cukup buruk (btw yg ini nggak bagus dicontoh ya, menyerah sebelum medan perang dimulai haha. Tapi dibalik itu cukup diambil nilai positif nya saja, yaitu mengenali kemampuan diri). Saya merasa lemah dalam mata pelajaran eksak dan merasa kemampuan saya di IPS lebih unggul daripada di IPA. Akhirnya, masuklah saya ke jurusan IPS dan hingga sampai lah pada akhir kelas 12, saya berada dalam posisi belum tau ingin jadi apa. Ketika SMA, saya sekolah hanya sekadar sekolah dan tidak terlalu memikirkan masa depan seperti apa. Cita-cita dari SD mulai dari menjadi dosen, presiden, dan dokter, tidak ada dalam bayangan saya saat itu.

Di perguruan tinggi, saya mengambil jurusan Ilmu Hukum di Fakultas Hukum. Alasan masuk fakultas tersebut sudah pernah saya tulis di tulisan awal di blog ini, yaitu karena disuruh orangtua. Kenapa disuruh orangtua? Ya karena saya tidak punya bayangan ingin berprofesi menjadi apa dan kala itu saya tidak memiliki ketertarikan di suatu bidang tertentu. Jadi, kedua orangtua saya yang memang backgroundnya orang hukum, menyuruh saya masuk di fakultas hukum saja. Saat awal masuk S1, saya ingin jadi notaris karena sependek pengetahuan saya bahwa sarjana hukum kalau tidak jadi notaris, hakim, ya jadi pengacara. Maklum, mahasiswa baru, masih polos banget. Semakin bertambah semester, saya mulai tertarik dengan hukum internasional dan segala sesuatu yang berhubungan dengan international affairs hingga akhirnya saya masuk konsentrasi hukum internasional untuk penjurusan akhir. Sejak masuk konsentrasi hukum internasional, saya bercita-cita jadi diplomat. Pasca lulus, karena lowongan sebagai diplomat belum dibuka, berbagai macam lowongan kerja di lembaga internasional saya coba daftar, seperti lowongan bagi freshgraduate di United Nations, dan lain-lain. Namun belum ada yang berhasil dan saya harus akui kalau lowongan di bidang hukum internasional di Indonesia masih cukup sulit ditemukan dibanding bidang hukum yang lain. Sampai akhirnya dibuka lowongan diplomat, saya memutuskan untuk tidak daftar karena berbagai pertimbangan dan saya harus mengesampingkan cita-cita menjadi diplomat tersebut. Cut to short, saya diterima bekerja di perusahaan swasta sebagai corporate legal, a job I have never thought I would do. Pekerjaan ini menitikberatkan pada bidang hukum perdata bisnis yang tentu saja tidak ada sangkut pautnya dengan hukum internasional. Selama bekerja, hukum internasional yang saya pelajari selama ini tidak terpakai sama sekali. 

Setelah beberapa tahun bekerja sebagai corporate legal, saya memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan tersebut dan mencoba bekerja di instansi negeri dengan berbagai pertimbangan jangka panjang, dimana formasi yang saya masuki ini kedepannya akan diprospek menjadi suatu profesi tertentu (profesi tertentu ini tidak saya sebutkan di sini, karena perjalanannya masih panjang). InshaAllah kalau sudah sampai kesana, kalau sempat saya akan cerita lagi. 

Pelajaran yang dapat diambil dari cerita di atas adalah bahwa cita-cita/mimpi sangat wajar untuk berubah, wajar untuk diombang-ambing di atas ombak kehidupan karena mau tidak mau harus menyesuaikan beberapa hal, yaitu:
1. Kondisi personal, baik kondisi yang datang dari sisi internal maupun eksternal; 
2. Kesempatan yang tersedia di pasar; dan/atau 
3. Prospek jangka panjang. 

Kesimpulan dari 3 point tersebut adalah ketika plan awal tidak dapat kita lalui disebabkan faktor internal maupun eksternal, maka kita wajib hukumnya menyusun plan lain. Go with the flow.

Sekian cerita tentang perjalanan saya dalam menemukan dan menjalani profesi yang awalnya bukan merupakan cita-cita saya. Kalau teman-teman pembaca di luar sana pernah mengalami berbagai perubahan dalam mengejar cita-cita seperti yang saya alami, tenang saja, itu hal yang sangat wajar karena merupakan proses diri dalam mengenal berbagai sudut pandang kehidupan. Kita tidak bisa melihat masa depan kita, tapi kita bisa ikhtiar dan tawakal karena hidup di dunia ini kuncinya adalah ikhtiar dan tawakal. Seperti di lagu berjudul Whatever will be, will be (Que sera, sera) yang salah satu liriknya berbunyi "the future's not ours to see...what will be, will be...".

Semoga bermanfaat, have a good day! :) 

Comments

Popular posts from this blog

Catatan di Hari Ulang Tahun

Water in the River