Rasanya Belajar Hukum


Sepanjang menyelesaikan pendidikan S-1 selama 3,8 tahun di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, saya sempatkan sesekali atau beberapa kali menengok ke belakang, mengintip memori perjalanan saya selama belajar di sini, betapa hidup saya sangat berwarna dan bahagia dapat menjadi bagian dari keluarga besar Brawijaya. Bagaimana tidak? Bahkan hanya dengan berjalan di antara teduhnya pohon-pohon besar dan rindang di kampus ini saja sudah bisa membuat saya tersenyum ringan. Bahkan hanya dengan bertemu dengan dosen favorit, bisa membuat saya tersenyum tidak canggung dan berkata dalam hati “Ah, andaikan semua mata kuliah diajarkan oleh Bapak dosen muda ini, saya pasti sudah mengerti semua hal njelimet dalam dunia hukum dan tetek bengeknya.”

Tanggal 8 dan 9 Mei 2018 kemarin adalah jadwal piket saya di Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) FH UB. Saya magang di lembaga bantuan hukum (LBH) ini sudah hampir 1 tahun bersama 11 orang mahasiswa hukum lainnya. Dalam seminggu, 1 orang piket sebanyak 2 kali dan kebetulan minggu ini jadwal piket saya bertepatan dengan tanggal ujian/seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri (SBMPTN) yaitu tanggal 9 Mei 2018. Sehari sebelumnya, saya sudah melihat beberapa calon peserta ujian berseliweran di fakultas saya. Seperti yang dilakukan peserta ujian pada umumnya, mereka mendatangi tempat dimana nomor peserta ujian mereka ditempel dengan tujuan agar tidak bingung dan “mepet” saat datang di hari H ujian.

Pada pagi itu tanggal 9 Mei, saya yang piket sudah datang di kampus jam 7.30 WIB. Jam piket dimulai pukul 08.00 WIB. Namun saat itu saya tidak masuk ke ruangan LBH, melainkan duduk di salah satu kursi yang terletak di depannya karena LBH masih dikunci sedangkan petugas yang membawa kunci masih melaksanakan piket kebersihan pagi itu. Di sebelah saya banyak sekali peserta ujian yang sudah datang. Kemudian saya bertanya kepada seorang laki-laki yang duduk di sebelah saya “Dek, mau ujian ya?” “Iya, Mbak.” “Ujiannya dimulai jam berapa?” “09.45.” “Soshum atau Saintek?” “Soshum, Mbak”.
Sore harinya saya baru tau kalau UB memang hanya dipakai untuk peserta ujian jurusan Soshum (Sosial dan Humaniora). Dang!

Setelah bertanya kepada anak tersebut, melayanglah pikiran saya ke tahun 2014 lalu, dalam hati “Ah, saya dulu juga mengambil Soshum dan ruang ujiannya di Fakultas Ilmu Budaya UB. Just some blocks away from this faculty building.” Lalu muncul pertanyaan sederhana dalam diri saya,“Mengapa ya saya dulu memilih fakultas hukum?” Jujur dari hati yang paling dalam, saya jawab: lupa. Jawaban ini terdengar konyol dan tidak niat, tapi memang saya lupa dan tidak begitu paham mengapa dulu saya memilih jurusan ini. Jawaban lain yang lebih enak didengar dan sering saya lontarkan kepada teman-teman adalah bahwa orangtua saya yang meminta agar saya belajar di fakultas hukum. Saya tidak ingat bagaimana persisnya ketika orangtua saya meminta saya untuk mengambil prodi ilmu hukum. Saya ingatnya hanya waktu itu sebagai siswa yang masih buta dengan dunia perkuliahan, saya meng-iyakan saja permintaan mereka dengan request bahwa saya tidak ingin kuliah di Malang. Namun ujungnya tetap tidak diizinkan dan harus kuliah di Malang dan lagi-lagi dengan setengah hati saya meng-iyakan untuk kuliah di Malang. Beberapa bulan kemudian, Alhamdulillah saya diterima di Fakultas Hukum UB melalui jalur SBMPTN. Awalnya ogah-ogahan kuliah di Malang, tapi setelah tau diterima di UB senangnya bukan main. Aneh ya, manusia mah gitu, hatinya berubah-ubah.

Jujur ketika tau diterima di fakultas hukum, saya deg-degan karena berpikir kalau selama kuliah kita harus hafal semua pasal yang ada di Indonesia. Tapi ternyata tidak bung! Kita dituntut harus memahami, bukan menghafal. Namun kalau mau menghafal ya sah-sah saja, terutama pasal yang dasar dan umum. Bahkan kalau mau menghafalkan ribuan pasal dari UUD NRI 1945 sampai peraturan desa pun tak masalah, asalkan otaknya kuat menampung. Selama belajar, kita akan disuguhi dengan teori dan norma, norma disini maksudnya adalah undang-undang. Pasal-pasal yang kita pelajari sering sekali dibahas sebagai bahan analisa kasus dan itu dilakukan secara berulang-ulang. Sehingga dengan cara diulang berkali-kali di beberapa mata kuliah, tanpa menghafal pun kita secara tidak langsung sudah hafal. Sama contohnya seperti saya dulu waktu di MAN, setiap pagi sebelum memulai kelas, semua siswa selalu membaca Asmaul Husna secara bersama-sama. Saya tidak pernah menghafalkan namun karena setiap pagi selama 3 tahun saya selalu membaca Asmaul Husna, membuat saya hafal di luar kepala. Luar biasa kerja otak kita ini. 

Jika mau mahir dalam bidang kita, kita harus sungguh-sungguh dan rutin. Saya masih sangat jauh dari itu, banyak sekali buku yang belum saya baca dan masih banyak kasus hukum yang belum saya pahami dan masih banyak juga tetek bengek hukum yang saya masih belum mengerti, tapi saya selalu berusaha untuk terus belajar. Ngomong-ngomong, saya sudah jadi sarjana! Senang? Tidak juga. Saya justru gemetar sekarang mengingat bahwa perjalanan mengerikan saya masih akan baru dimulai. Perjalanan untuk meneruskan dan menerapkan ilmu ini masih akan baru dimulai. Bagi yang baca tulisan ini, minta doanya ya. Semoga kita semua diberikan kemudahan dalam menghadapi semua urusan yang ingin kita capai :)

Comments

Popular posts from this blog

Dreams are Changing (the future's not ours to see)

Catatan di Hari Ulang Tahun

Water in the River